Majalengka, Kabarsakti.com – Pasca pelaporan ke Polres Majalengka Polda Jabar Nomor : STPL/458/B/X/2024, oleh pihak korban CMR (16 Tahun), sudah empat kali pihak pelaku persetubuhan anak di bawah umur berupaya untuk meluluhkan hati pihak keluarga korban dengan melakukan musyawarah, namun tidak terjadi kesepakatan. Bahkan yang hadir saat pertemuan pun jauh dari seimbang hingga berujung intimidasi oleh pihak keluarga pelaku persetubuhan/pencabulan terhadap orang tua korban. Ironisnya orang tua korban yang hanya seorang diri pada pertemuan hari Senin (3/2/25) diintimidasi mengarah tindak kekerasan dipaksa untuk mencabut perkara.

Ucapan manis yang dikeluarkan oleh pihak pelaku DNR (22 Tahun) dari awal pelaporan ke unit PPA Polres Majalengka (11/10/24) sampai saat terjadinya intimidasi pihak pelaku terhadap orang tua korban di swalayan Surya Kadipaten Majalengka. Akhirnya terkuak hanya isapan jempol saja, mereka hanya menginginkan pelaku ini terbebas dari jeratan hukum. Bukan tulus untuk menyayangi korban dan niat sungguh-sungguh tulus menyayangi menikahi korban. Orang tua korban merasa takut dan tidak ingin memberikan putrinya kepada keluarga yang terbukti melakukan tindakan yang kasar dan tidak baik.

Kepada media Kabar Sakti, Rabu 5 Februari 2025, Orang tua korban menyampaikan bahwa harapan terbesarnya adalah agar keadilan dapat hadir untuk putri tercinta. Supremasi hukum adalah upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum di tempat yang semestinya, hukum akan mampu melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk dari penyelenggara negara.

Diketahui perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak merupakan delik biasa dan bukan delik aduan. Hal ini menandakan betapa berbahayanya perbuatan cabul terhadap anak dan masuk ke dalam ranah publik, bukan ranah privat.

Berdasarkan Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016), setiap persetubuhan dengan anak di bawah umur dianggap sebagai tindak pidana, terlepas dari ada atau tidaknya unsur paksaan atau suka sama suka. Hukuman untuk pelaku bisa mencapai minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 46/PUU-XIII/2015 menegaskan bahwa pernikahan tidak menghapus tindak pidana. Bahkan, dalam revisi KUHP terbaru, praktik seperti ini tetap tidak bisa digunakan untuk menghindari hukuman.

UU Perkawinan (UU No. 16 Tahun 2019), batas minimal usia menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Jika ingin menikah di bawah usia ini, harus ada dispensasi dari pengadilan dengan alasan kuat. Jika ada unsur paksaan dalam pernikahan, maka pernikahan tersebut bisa dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan.

Menyikapi peristiwa tersebut tokoh masyarakat, mendorong dan mendukung penuh pihak Kepolisian Resor Majalengka untuk melaksanakan amanat undang-undang sesuai hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Tentunya kami sebagai warga negara Indonesia yang baik mendorong dan mendukung penuh pihak Polres dalam melaksanakan amanat undang-undang yang berlaku di negara yang kita cintai ini,” tegas H. Maman Nuryaman, SM.

Hal senada juga disampaikan oleh Eko Triyatna, S.H., dari Pusat Bantuan Hukum Satria Advokasi Wicaksana DPD Kabupaten Majalengka. Ia menyesalkan terjadinya peristiwa persetubuhan/pencabulan terhadap anak di bawah umur yang sering terjadi di wilayah Kabupaten Majalengka. Ia berharap agar pihak penegak hukum dapat memberikan tindakan tegas terhadap pelaku. “Kami meminta agar penegak hukum mengambil langkah-langkah yang tegas terhadap pelaku, guna memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kejadian serupa di masa depan,” tandasnya. (Tim Investigasi)