Majalengka, Kabarsakti.com – Heboh kasus yang sangat serius dan menyentuh, di mana pelaku persetubuhan anak berusaha menggunakan pernikahan sebagai cara untuk menghindari hukuman. Namun, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa hukum di Indonesia sangat tegas dalam melindungi anak, dan menikahi korban tidak akan menghapuskan tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku.

Kepada tim investigasi media Kabar Sakti, warga mengungkapkan bahwa tempat kejadian bejat yang dilancarkan oleh pelaku DNR (22) terhadap CMR (16) terjadi di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, pada 17 Agustus 2024 di tempat kost pelaku yang saat itu pelaku DNR kursus montir motor di Mustika Wangi Ciborelang.

Tidak Menghapuskan Tindak Pidana dengan Menikahi Korban:

Menurut UU Perlindungan Anak, persetubuhan anak di bawah umur tetap merupakan tindak pidana yang harus diproses secara hukum, terlepas dari apakah pelaku menikahi korban atau tidak. Hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pernikahan tidak menghapuskan tindak pidana persetubuhan anak. Pelaku tetap akan dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Proses Hukum yang Berjalan:

Dalam kasus ini, meskipun pelaku mencoba untuk menyelesaikan masalah melalui pernikahan, proses hukum yang telah dimulai tidak bisa dihentikan begitu saja. Namun, langkah hukum tetap harus dilanjutkan untuk memastikan bahwa hak korban terlindungi dan keadilan ditegakkan.

Usaha Pengaruh oleh Pihak Lain:

Perilaku pelaku yang terus berusaha untuk mengintervensi dan mempengaruhi korban agar mencabut tuntutannya, termasuk dengan melibatkan keluarga dan pihak desa, dapat dilihat sebagai bentuk tekanan. Namun, keputusan korban untuk menolak pernikahan dan tetap melanjutkan proses hukum adalah langkah yang tepat agar keadilan dapat ditegakkan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Pernikahan di Bawah Umur:

Menikah di bawah usia yang ditentukan (19 tahun) tanpa dispensasi dari pengadilan juga melibatkan aspek hukum terkait pernikahan. Oleh karena itu, meskipun pelaku menawarkan pernikahan sebagai solusi, hal ini tidak akan mengubah status hukum perbuatannya.

Diketahui bahwa pernikahan yang ditawarkan oleh pelaku sebagai cara untuk “menebus” perbuatannya tidak akan mengubah kenyataan hukum bahwa pelaku telah melakukan tindakan persetubuhan terhadap anak di bawah umur. Menikahi korban tidak membebaskan pelaku dari hukum, dan pelaku tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Keputusan korban dan keluarganya untuk melanjutkan proses hukum adalah pilihan yang tepat agar keadilan dapat ditegakkan, dan pelaku dihadapkan pada hukum yang seharusnya.

Alasan mengapa pelaku tetap bisa dihukum dalam kasus persetubuhan anak di bawah umur:

1. Persetubuhan dengan Anak di Bawah Umur adalah Tindak Pidana Absolut
Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016) dengan jelas mengatur bahwa persetubuhan dengan anak di bawah umur adalah tindak pidana yang harus dihukum. Tidak ada pengecualian, baik ada paksaan maupun suka sama suka. Karena itu, pelaku tetap akan dihadapkan pada hukum, dan tidak dapat menghindar dari hukuman dengan alasan apapun.

Hukuman yang Ditetapkan:

Berdasarkan ketentuan tersebut, hukuman yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku adalah minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara, tergantung pada keadaan kasus dan peran pelaku.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Melarang Perkawinan untuk Menghindari Hukuman
Dalam putusan No. 46/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pernikahan tidak dapat digunakan sebagai cara untuk menghapuskan atau menghindari tindak pidana persetubuhan anak. Ini berarti bahwa meskipun pelaku menikahi korban, hal itu tidak akan membatalkan proses hukum dan tidak menghapuskan tanggung jawab hukum pelaku.

Bahkan, dalam revisi KUHP terbaru, Mahkamah Konstitusi tetap mengukuhkan bahwa praktik menikahi korban untuk menghindari hukuman tetap tidak diperbolehkan dan tidak akan membatalkan pidana yang sudah dilakukan.

Larangan Perkawinan Anak:

UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 mengatur bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun. Perkawinan di bawah usia tersebut hanya bisa dilakukan jika ada dispensasi dari pengadilan dengan alasan yang sangat kuat.

Dalam konteks ini, jika pelaku mencoba menikahi korban yang masih di bawah umur, ini bukan hanya akan melanggar hukum perkawinan tetapi juga dapat memperburuk posisinya sebagai pelaku kejahatan terhadap anak. Jika ada unsur paksaan dalam pernikahan, maka pernikahan tersebut dapat dibatalkan dan dianggap tidak sah.

Kasus Serupa:

Pelaku Tetap Dihukum
Banyak contoh kasus di Indonesia di mana pelaku persetubuhan anak tetap dihukum meskipun menikahi korban. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita tidak membiarkan pelaku menghindari hukum hanya dengan alasan menikahi korban.

Proses hukum akan tetap berjalan dan pelaku tetap akan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mengingat kejahatan yang dilakukan adalah pelanggaran serius terhadap hak anak dan tidak bisa dimaafkan hanya karena pernikahan.

Kesimpulan:

Menikahi korban tidak akan menghapuskan atau membebaskan pelaku dari hukuman dalam kasus persetubuhan anak di bawah umur. Hukum Indonesia saat ini sangat tegas dalam melindungi anak dan tidak memberi ruang bagi pelaku untuk lolos dari tanggung jawab hanya dengan menikahi korban.

Hukum akan terus melindungi korban dan memastikan bahwa pelaku dihukum sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Kasus ini memberikan pelajaran penting bahwa hukum kita tidak mengizinkan pelaku untuk lepas dari hukuman dengan cara-cara yang manipulatif.

Dengan demikian, pelaku harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum, dan langkah-langkah hukum yang tepat akan diambil untuk melindungi hak korban. (Tim investigasi)