Tasikmalaya, kabarsakti.com  –  Masyarakat, Wartawan, Lsm, aparat penegak hukum dan aktivis lainnya berhak mendapat data dan informasi tentang penerapan dana desa dan alokasi dana desa (DD & ADD) dan bantuan pembangunan desa lainnya, fisik dan non fisik yang bersumber dari dana APBN dan APBD. dan bentuk bantuan lainnya dari pemerintah, pusat, propinsi, kabupaten dan kota, sepanjang untuk kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat, data-data yang diperoleh tidak disalahgunakan?.

Seperti pemerasan, suap-menyuap antar oknum aparat, dan oknum aktivis. pelaksanaan pembangunan terbuka untuk umum, mulai dari perencanaan, penganggaran, pengelolaan, pelaksanaan, pengasawan dan hasil akhir (finish) boleh diberikan data dan infonya pada masyarakat luas. agar hasil pembangunan mampu memberikan azasmanfaat, sebagai tujuan akhir pengucuran akhir dana dari negara/ pemerintah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014, tentang Desa Pemerintahan Desa berfungsi memberikan pelayanan Publik dan Kesejahteraan umum, maka masyarakat berhak mengawasi pelayanan didesa termasuk Pengelolaan Keuangan Desa, (DD/ADD dan bentuk bantuan lainnya), harus dibuka untuk umum.

Demikian lebih kurang bunyi amanat Undang-Undang Nomor: 6 tahun 2014, yang dikeluarkan Pemerintah atas Keputusan bersama dengan DPR Republik Indonesia. Untuk membangun keterbukaan dan transparansi public, dalam membangun desa.

Pengawasan masyarakat terhadap pengelolaan dana desa dapat dilakukan dalam bentuk meminta informasi terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan lampirannya serta dapat pula melakukan pengawasan terhadap perencanaan dan kualitas proyek-proyek yang dikerjakan dengan menggunakan dana desa, baik secara perorangan maupun melalui Badan Perwakilan Desa (BPD).

Pengawasan seperti itu hendaknya tidak dianggap sebagai penghambat pembangunan desa. Karena hakekat pengawasan adalah dalam rangka perbaikan pelayanan pada masyarakat dan lebih dari itu adalah agar pemerintah desa dipercaya masyarakat.

Karena itu para kepala desa diharapkan tidak alergi terhadap pengawasan dana desa oleh warga apalagi kemudian berupaya membalas pengawasan warga tersebut dengan tidak melayani atau tindakan lain yang tidak dibenarkan undang-undang.

Badan Perwakilan Desa (BPD), adalah mutlak perwakilan masyarakat desa yang terdekat dalam melakukan pengawasan terhadap segala bentuk pembangunan desa yang menggunakan sumber keuangannya dari Negara, APBN dan APBD dan sumber bantuan lainnya, perorangan dan kelompok, mutlak BPD (Badan Perwakilan Desa), melakukan pengawasan secara benar.

Tegasnya BPD (Badan Perwakilan Desa) yang dipilih masyarakat itu, menjadi keharusan melakukan pengawasan, tidak hanya batas tukang stempel kepala desa (kades), untuk mengesahkan apa yang direncanakan, dikelola (dikerjakan), dan harus dipastikan hasilnya mampu memberikan azasmanfaat pada masyarakat desa.

Dan jangan sekali-kali lembaga BPD berkolaborasi dengan Pemerintahan Desa (Pemdes), melegalkan pelanggaran dan penyimpangan dana desa dan alokasi dana desa (DD/ADD), dan bantuan lainnya dari pemerintah, digunakan harus sesuai rencana, sasaran, peruntukan  dan manfaatnya.

BPD di setiap desa, harus ingat bahwa mereka perwakilan rakyat didesa yang paling dekat dengan masyarakat, dengan alokasi pembangunan di sepanjang wilayah desa masing-masing, sudah merupakan kewajiban bagi mereka mengawasinya untuk mencapai azasmanfaat sebagai tujuan akhir dari pembangunan itu sendiri.

Pembangunan Desa menjadi salah satu skala prioritas Pemerintah pusat, (RI) sebagaimana dijelaskan dalam NAWACITA ketiga tujuannya membangun Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat desa dan daerah dalam kerangka memenuhi kebutuhan Pembangunan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Sejak dikucurkan dana desa (DD), dari tahun 2015 silam sampai tahun anggaran 2021 sedikitnya sudah Rp. 4000 triliyunan dana desa mengalir untuk membangun lebih 70-an ribu desa di Indonesia, dengan tujuan yang dibangun Pemerintah RI, ‘’mengurangi jumlah warga miskin, mengurangi kesenjangan antara warga kota dan desa, hakikinya mensejahterakan masyarakat desa.

Tidak sekali-kali membangun kekuatan ekonomi kelompok tertentu, memperkaya oknum kepala desa (kades), keluarga dan koleganya, maka peran BPD dan Masyarakat dalam melakukan pengawassan bagi pembangunan didesa masing-masing, harus diutamakan, agar bermanfaat untuk kepentingan yang lebih besar.

Sejak DD dan ADD sebagai dana pendamping dikucurkan Pemerintah pusat daerah selama lebih kurang sudah delapan tahun berjalan, uang beredar di setiap desa sudah mencapai lebih dari Rp. 9 miliar / desa, bayangkan jika para kades dan BPD jujur dan mampu mengelola keuangan di masing-masing desanya dengan baik, minimal masyarakat desa sudah sejahtera, dan tidak sebaliknya?.

Dan sebagian besar hasil temuan Wartawan dan para aktivis peduli kepentingan masyarakat dilingkup yang sudah terjangkau dana yang berlimpah tersebut dan dikucurkan pemerintah sejak tahun 2015 silam menjadi lumbung yang rawan Korupsi. Pengelolaan dana desa dan alokasi dana desa (DD/ADD), dan bentuk bantuan lainnya dari pemerintah pusat, profinsi, kabupaten dan kota belum sepenuhnya bebas dari Korupsi.

Trennya justru korupsi (perampokan) terhadap dana pembangunan desa dari tahun ketahun menempati urutan ketiga setelah aparatur sipil Negara (ASN) dan swasta dari segi jumlah pelakunya, dikutif dari berbagai sumber resmi pemerintah dan DEPARTEMEN BP2 TIPIKOR LEMBAGA ALIANSI Indonesia.

Tindakan perampokan itu, harus kita hentikan bersama, dengan membantu aparat penegak Hukum dengan cara memberikan informasi yang positif dan factual, guna diproses secara hukum. Dan mari kita bersama menjadikan hukum sebagai Panglima, bukan kekusaan. Yang mencemaskan kita semua, sejumlah oknum, bahkan ratusan oknum kades dan BPD menjadikan anggaran desa Objek korupsi.

Sebagai pelaku korupsi para oknum kepala desa adalah diduga terbanyak jumlahnya yang melakukan korupsi. Dan sangat rawan antara lain saat perencanaan dan pencairan dananya. Semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi. Dari segi pelaku, kepala desa adalah yang terbanyak menjadi pelaku korupsi. Area yang rawan antara lain saat perencanaan dan pencairannya.

Sejak pengucuran dana desa 2015 silam, dan sudah berjalan lebih kurang 9 tahun, sudah banyak peningkatan yang dicapai dari desa tertinggal menjadi desa berkembang dan prasejahtera. Ini berkat pengucuran dana desa yang dilakukan pemerintah, membangun negeri dari desa kekota sebagaimana di amanatkan dalam ‘’Nawacita’’ Presiden RI Joko Widodo.

Dan telah banyak kemajuan yang dicapai, seperti pelayanan dasar, infrastruktur, tranportasi, pelayanan umum dan pemerintahan. Namun, masih lemahnya pengawasan BPD, masyarakat dan para aktivis termasuk Pers, masih banyak desa kondisi riil ekonomi masyarakatnya dalam keadaan tertinggal.

Bersamaan peningkatan pembangunan desa yang tidak sedikit jumlahnya para oknum Kepala Desa (Kades) yang meningkat ekonominya, bertambah jumlah istrinya dan mampu membeli kendaraan roda empat dengan harga terendah Rp100 juta, secont (bekas).

Dan para oknum kades yang hampir setiap minggu mengunjungi tempat hiburan malam, ‘’berjoget ria, dan menggelontorkan dana jutaan rupiah’’ logisnya dari mana sumber dana yang dihabiskan untuk berpoya-poya itu?

Apakah hasil dari kebun Kopi, Sawit, dan lainnya. Masyarakat punya catatan pada masing-masing kadesnya sebelum terpilih menjadi kades, kondisi riil untuk memenuhi kebutuhan makan tiga kali sehari dengan gizi yang cukup saja sangat sulit. Tapi, setelah berjalan tiga tahun menjadi kades, dan sampai akhir masa jabatannya, (enam tahun), justru bisa berleha-leha, punya selingkuhan, bini dua dan bini-binian di sepanjang tempat tertentu.

Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota mana tahu tindakan para oknum kades, jika bukan ditelusuri jejaknya oleh para aktivis termasuk Wartawan dan Media yang telah melakukan penelusuran di berbagai tempat, maka diperlukan pengawasan lebih pada penegakan Hukum dan tidak bisa sebatas pemantuan (monitoring) semata.

Dimasing-masing desa, masih banyak warga, kk (kepala keluarga), berkategori keluarga Gizi buruk, sumber air bersih yang tidak layak, infrastruktur masih banyak yang harus dibenahi dan ditingkatkan. Tak heran pelayanan Pemerintahan Desa (Pemdes) disetiap desa menjadi keluhan masyarakat.

Untuk kedepannya, kendati sudah banyak yang dicapai melalui pengucuran dana desa dan alokasi dana desa, dan bantuan lainnya dari pemerintah, ‘’maka perlu diawasi dengan ketat Pengelolaan Keuangan, Aset dan Infrastruktur desa.’’

Berikutnya pemilihan Kepala Desa (Kades) demokratis tanpa membeli suara. Sejak dana desa dan alokasi dana desa (DD dan ADD), dikucurkan pemerintah pusat yang jumlahnya sudah ribuan triliyunan itu, nilai kursi kepala desa semakin mahal, sejak tahun 2017 silam, ‘’untuk pemenang pertama bisa menghabiskan dana Rp700 juta s/d miliaran rupiah, pemenang kedua Rp 400 juta dan pemenang ketiga Rp250 juta’’ tergantung jumlah mata pilih dan jumlah penduduk perdesa?. Dan hal lainnya yang Crusial pemberhentian pengangkatan dan perangkat desa harus dibenahi.

Dan berikutnya pengelolaan bantuan Sosial yang dibagikan melalui Ketua Rukun Tetangga/ Rukur Warga (RT/RW), aneh dan ironis banyak oknum RT/RW, mengaku tidak tahu nama kk (kepala keluarga) dan nama warganya yang berhak mendapat bantuan. Tindakkan ini, sudah tidak masuk akal, atau bertindak ‘’akal-akalan’’ juga harus dibenahi kedepannya. Maka harus kita bersama mencarikan jalan keluarnya (solusi), jika terus berulang setiap tahunnya, ‘’berarti / bisa dianggap terjadi pembiaran’’

Kita harus menyadari tujuan akhir pengawasan terciptanya perbaikan dan pelayanan yang baik untuk masyarakat, agar pemerintah dan pemerintahan tingkat desa dipercaya masyarakatnya. Para kepala desa dan perangkatnya tidak perlu alergi dengan pengawasan dan monitoring dari masyarakat, termasuk dari para aktivis, LSM, Wartawan, dan aparat penegak Hukum.

Pemerintahan desa menjadi kewajiban memberikan dan menerbitkan informasi yang benar pada public yang berada dibawah kewenangannya. Mereka diberi hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan melakukan pengawasan sebagai mana di amanatkan dalam Undang-Undang Nomor: 6 tahun 2014, tentang Desa.

Sebagaimana diperjelas dalam Pasal 68 ayat (1) hurup (a) Undang-Undang No.6 tahun 2014 dimaksud. Kepala desa dalam menjalankan tugasnya harus akuntabel, transparan, efektif dan efesien, bersih, bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, dan memberikan informasi pada masyarakat desa sebagaimana diatur pada Pasal 26 ayat (4) hurup (f) dan (p).

Maka pengawasan optimal secara internal harus dilakukan ditingkat internal desa melalui BPD dan masyarakatnya Perlu adanya pedoman kerja yang efektip oleh Bagian Organisasi, Sekretrais Daerah (Sekda) untuk pelayanan public dan Standar Operasional Pelaksanaannya.

Dan pemerintah desa (Pemdes), harus berani dan ikhlas membuat Unit Pengaduan Pelayanan Publik (UP3) desa, sehingga masyarakat bisa memberikan masukan dan menjelaskan ketimpangan jalannya pemerintahan dan pembangunan desa. Dan tidak harus mereka mengadukan langsung kepada aparat penegak Hukum.

Dalam meningkatkan dan membangun sistem jalannya pemerintahan desa, perlu peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk memahami pengelolaan keuangan dan asset desa. BPD (Badan Perwakilan Desa), sebagai garda terdepan dalam pengawasan pemerintahan, pembangunan dan perangkat desa, harus berani dan jujur melakukan pengawasan didesanya masing-masing. Dengan pengawasan yang baik dan bertanggungjawab, dengan harapan DD dan ADD, mampu meningkatkan kualitas hidup, masyarakat yang sejahtera dan mengurangi kemiskinan pedesaan.

Bagi para oknum kades yang takut data dana desa dan alokasi dana desa (DD dan ADD) diketahui masyarakat, pantas dipertanyakan, diduga ada penyimpangannya. Apa lagi dugaan melakukan suap-menyuap, pada aparat pengawas, pemantau atau monitoring saja.

Seperti ilustrasi kasus oknum kades dan oknum wartawan ‘’Oknum Kades Menyuap Oknum Wartawan Dan Wartawan Mau Menerima Suap, Untuk Saling Melindungi.’’

Ternyata oknum kades lebih licik dari oknum Wartawan, oknum Kades menghubungi aparat kepolisian, mereka berhasil menjadikan oknum Wartawan kedalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Terlepas dari dirancang (direncanakan) atau tidak OTT tersebut, yang jelas oknum Wartawan, tersebut harus mempertenggungjawabkan penerimaan uang suap tersebut.

Dan keduanya, harus diproses sesuai ketentuan Hukum berlaku. Penyuap dan Penerima Suap, harus diberlakukan sama, jika dalih dan alasan kedua belah pihak punya alasan masing-masing, dan kedua belah pihak harus diperiksa sesuai prosedur Hukum yang berlaku, tidak tebang pilih.

Yang jelas pengelolaan dana desa dan alokasi dana desa (DD dan ADD), bukan untuk menyuap, dan oknum Wartawan tidak harus menerima suap, jika benar mau melakukan Kontrol Sosial (Sosial Kontrol), terhadap penggunaan DD dan ADD, dimasing masing desa.

(Red)